Sekelompok orang akan
menjadi tim (tidak
lepas atau terpecah)
ketika ikatan kepercayaan terbentuk dan bertumbuh antara pemimpin dan anggota
tim. Saat membangun ikatan kepercayaan antara anggota tim, manager-leader mengupayakan kekuatan kohesif, bukannya
adhesif.
Sebuah hubungan adhesif dibentuk ketika A dan B tetap bersatu
hanya selama intensi masing-masing untuk bersatu terpenuhi. Konsekuensinya, A
dan B akan lepad dari ikatan kepercayaan ketika ikatan itu tidak lagi nyaman
atau berguna. Bayangkan pembalut luka yang langsung anda buang ketika unsur
obat yang ada di pembalut luka itu sudah habis terserap oleh kulit anda.
Sementara hubungan kohesif ditempa ketika A dan B bersatu untuk
menjadi C, sebuah badan dimana tujuan, talenta dan sumber daya dari A dan B
bersatu, terikat oleh keinginan bersama di C. Pikirkan sodium dan chlorida yang
bersatu di level molekuler dan menjadi garam.
Tim
yang kohesif sempurna sangatlah sulit ditemui. Seperti titik patah sebuah
rantai ditentukan oleh mata rantai terlemah, maka begitupun level kohesif yang
bisa dicapai sebuah tim akan ditentukan oleh anggota terlemahnya. Tim yang
kohesif mencapai sinergi yang berkesinambungan karena ikatan kepercayaannya
cukup kuat untuk menahan tekanan pemecah belah dari hubungan manusia dan untuk
mengembalikan harmoni ketika harmoni menjadi lemah. Sangat sulit untuk
membangun tim yang kohesif ketika bahkan satu saja dari anggota tim mempunyai
mental pembangkang.
Manager-leader mengerti bahwa ada empat tahap
dari kekuatan kohesif yang dapat dialami sebuah tim: kesatuan tempat, kesatuan
pemikiran, kesatuan konteks, dan kesatuan jiwa.
Pada pembentukan tim, individu yang ditunjuk sebagai anggota
tim akan mengalami tahap terendah dari kesatuan, yang saya sebut dengan kesatuan tempat. Mereka saling tidak
mengenal dan sama sekali tidak berbeda dengan satu kelompok orang yang masuk
dalam satu elevator di sebuah gedung tinggi. Mereka diharapkan untuk sopan dan
menghargai orang lain di dalam elevator itu. Mereka belum lagi produktif dan
belum merasakan kebutuhan untuk bekerja sama – belum.
Ketika elevator itu kemudian tiba-tiba berhenti, maka mereka
akan menghadapi masalah yang sama; terjebak. Maka mereka akan mulai untuk
saling berbicara dan bekerjasama untuk menghindari bahaya. Mereka akan
mengalami tahap berikutnya dari kesatuan yakni kesatuan pikiran. Mayoritas tim di banyak perusahaan mengalami
level kesatuan ini. Walaupun jauh lebih tinggi dari tahap sebelumnya,
efektifitasnya masih terbatas oleh kemampuan anggota untuk memroses emosi yang
mengemuka ketika ada silang pendapat tentang bagaimana menyelesaikan masalah
yang dihadapi.
Dibutuhkan seorang pemimpin dan anggota tim yang kompeten yang
menerapkan nilai-nilai manager-leader untuk naik ke tahap berikutnya dari
kesatuan, yakni kesatuan konteks.
Pada tahap ini, anggota tim akan mampu saling berbagi pandangan dan opini,
mengakomodasi perbedaan perspektif, mengontrol perbedaan tanpa perasaan
tersinggung, dan membangun konsensus yang tulus kapanpun dibutuhkan.
Dengan
berjalannya waktu mereka akan melatih ketulusan dan keharmonisan dalam mencapai
tujuan, dan akhirnya membawa tim ini ke tahap tertinggi dari kesatuan yakni kesatuan jiwa. A dan B menghilang, yang
ada hanya C.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar